JoSS, SEMARANG – Guru Besar Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Profesor Syafrudin meminta Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup menyesuaikan kebijakan terkait baku mutu air untuk antisipasi virus.
Dia menambahkan air limbah Covid-19 harus lebih diperhatikan sebagai bahan beracun berbahaya (B3). Selama ini aturan baku mutu air di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum memasukkan virus sebagai pencemar.
“Baru bakteri E coli saja. Karena itu perlu dipikirkan untuk virus seperti SARS-CoV-2 (virus penyebab Covid-19),” katanya, dalam diskusi BMKG yang membahas soal Iklim, Kualitas Udara, dan Lingkungan Masa Pandemi Covid-19, Jumat (12/6).
Syafrudin menerangkan, semua air buangan itu termasuk tinja yang berasal dari penanganan pasien yang memungkinkan mengandung mikroorganisme. Juga cairan yang digunakan saat isolasi pasien meliputi cairan dari mulut dan atau hidung atau air kumur pasien.
“Berbagai macam limbah bahan beracun berbahaya (B3) padat dan juga air limbah yang diperkirakan berisiko terhadap kesehatan,” katanya, seperti dikutip dari Tempo.co.
Menurut Syafrudin, limbah B3 padat dari wabah Covid-19 sudah banyak dibahas. Dia menunjuk berbagai Alat Pelindung Diri (APD) bekas sampai handuk tangan bekas. Juga kapas bekas, alat suntik bekas, set infus bekas, ampul bekas, perban bekas, alat makan dan minum bekas pasien, botol, kaca bekas.
Baca juga: Jurnal Fakultas Peternakan dan Pertanian Undip Tembus Internasional
Sedangkan air limbah Covid-19, selain yang telah disebutkannya di atas yang berasal dari pasien, juga air cucian alat kerja, alat makan dan minum pasien dan atau cucian linen. Kewaspadaan diperlukan karena, menurutnya, masih ada sistem pembuangan air limbah tanpa pengelolaan yang benar, termasuk di rumah tangga.
Ia mengatakan kalau saat ini virus penyebab Covid-19 belum terdeteksi dalam penyediaan air minum. Berdasarkan bukti yang ada saat ini, risiko penularan dari air yang terkontaminasi juga tergolong rendah.
Namun, studi laboratorium virus corona yang diletakkan dalam lingkungan yang diawasi dengan baik, mengindikasikan bahwa virus itu masih dapat menimbulkan infeksi dalam air yang terkontaminasi tinja manusia selama berhari-hari atau berpekan-pekan.
“Padahal sungai itu sumber air permukaan untuk kebutuhan air masyarakat. Dengan demikian pengolahan air minum harus bisa menjamin dengan persyaratan yang sesuai,” kata Syafrudin.
Secara konvensional, ia mengatakan teknologi filtrasi dan desinfeksi diperkirakan cukup membunuh virus corona. Karena diselubungi membran lemak yang tidak kuat maka virus cenderung sensitif dengan klorin dan desinfektan. “Beberapa jenis virus corona diketahui memiliki reaksi sensitif terhadap klorinasi dan desinfeksi dengan ultraviolet,” katanya menambahkan. (lna)
Leave a Reply