Jalan Sunyi WO Ngesti Pandawa, Kala Bung Karno Kesengsem Pada Primadona Suwarni Ngesti Pandawa

Kolase, Ngesti Pandawa - Soekarno Hatta | Foto: net
Mari berbagi
Bambang Iss Wirya

Keberdaaan seni tradisi yang ditunggu masyarakat sekaligus menciptakan sawah lading, membuat Ngesti Pandawa menyediakan dua hari untuk memanggungkan ketoprak yaitu tiap Senin dan Kamis.

Hal Itu sekadar untuk variasi agar pengunjung masih bisa menikmati ketoprak. Mengingat masyarakat juga banyak menyukai cerita-cerita sejarah terutama yang dipercayai pernah terjadi di tanah Jawa. Kedekatan emosional terjadi karena seakan masyarakat juga bagian dari sejarah itu.

Selama menempati gedung GRIS inilah Ngesti Pandawa mengukir kejayaan. Hal itu diukur dari kesejahteraan pemainnya sangat terjamin. Manajemen mampu memberi topangan ekonomi anggotanya misalnya dengan gaji tetap, biaya kesehatan, melahirkan anak, penyediaan asrama (di Jalan Anggrek dan Banyumanik).

Berkat keuletan dan ketelatenan Sastro Sabdo di masa awal berdiri dulu, para seniman seniwati Ngesti Pandawa menorehkan prestasi, dengan mengadakan pentas di Istana Negara Jakarta dan Istana Negara di Bogor, yang tentu saja dihadiri oleh Presiden RI pertama Ir Soekarno.

Kelompok Ngesti Pandawa memperoleh penghargaan dari Presiden RI pertama berupa piagam Wijaya Kusuma diberikan pada tanggal 17 Agustus 1962. Hal itu diatur berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1960.

Hal itu karena pemerintah menaruh perhatian pada kesenian tradisi, dan Ngesti Pandawa telah menyediakannya dengan segala kemampuan berkesenian. Tentu pula karena upaya dan kiprah para seniman seniwati yang telah menghasilkan karya seni budaya yang ada di Kota Semarang saat itu.

Popularitas Ngesti Pandawa rupanya menarik perhatian Presiden Soekarno sekitar dasawarsa 50 – 60an. Pada saat terjadi bencana alam Gunung Merapi meletus 1953, Ngesti Pandawa pentas dalam rangka pengumpulan dana. Di kalangan seniman, perkumpulan kesenian khususnya wayang orang, untuk pentas di Istana Negara adalah sesuatu yang jarang terjadi terlebih lagi menerima piagam penghargaan.

Terbetik kabar, bukti kecintaan pada Ngesti Pandawa saat itu, bahwa Bung Karno sempat kesengsem (tertarik) pada primadona Suwarni yang berhasil membawakan tokoh Bambangan dengan baik. Bagaimana Suwarni memerankan Bambangan dengan eloknya, apalagi jika bersama lawan mainnya Tjipto Dihardjo sebagai Buta Cakil dalam nukilan tari Bambangan Cakil. Maka di zaman itu Bambangan Cakil yang dimainkan Suwarni dan Tjipto bisa dibilang tiada duanya di jagad pewayangan Indonesia.

Baca juga: Jalan Sunyi WO Ngesti Pandawa, 60-an Perkumpulan Seni Tradisi Jadi Sawah Ladang Sampai Wayang Ngesti Pandawa Tak Melakukan Samben

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*