Hanung Bramantyo Siap Garap Novel ‘Ibu, Doa Yang Hilang’ 

Hanung Baramantyo
Hanung Baramantyo | Foto: kumparan
Mari berbagi

JoSS, JAKARTA – Sutradara Hanung Baramantyo didapuk menggarap sebuah film yang diangkat dari novel Ibu, Doa yang Hilang karangan Bagas D Bawono.

“Saya cukup kenal baik dengan Mas Hanung. Saya ada 7 sinopsis film, 2 cerita udah jadi skenario film , 90 persen,” kata Bagas saat jumpa pers rencana pembuatan film Ibu, Doa yang Hilang di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (21/12).

Bagas menuturkan novel itu merupakan kisah perjalanan hidupnya bersama sang ibunda yang kini telah tiada. “Semua cerita perjalanan hidup saya secara benang merahnya, kisah-kisah yang saya coba tarik hikmahnya dari perilaku ibu saya,” ucap Bagas seperti dikutip dari Kompas.com.

“Setiap hari dulu ibu saya telepon sehari dua kali, pagi dan malam. Ketika ibu saya meninggal saya kehilangan doa yang tulus dari ibu saya,” lanjutnya.

Proses shooting baru akan dilakukan pada tahun depan, setelah penggodokan skenario selesai. Dua nama aktor papan atas pun rencananya turut terlibat dalam film ini.

“Mungkin tahun depan karena skenario masih digodok. Yang jadi ibu adalah Christine Hakim dan salah satu anaknya Reza Rahadian,” imbuhnya.

Hanung Bramantyo bukan nama asing dalam dunia perfilman Tanah Air. Tangan dingin sutradara kelahiran Yogyakarta ini mampu melambungkan sejumlah karya novel yang diangkatnya ke layar lebar.

Baca juga: Nikmati Pengalaman Seru, D’Gobers Hotel ‘Kapsul’

Jauh sebelum rencana novel Bagas, Hanung pernah membuat para sineas ketar ketir dengan film yang dilatari cerita dari sebuah novel Perempuan Berkalung Sorban. Saat dirilis, film ini disambut dengan kontroversi di Indonesia karena dianggap melakukan kritikan kontra produktif atas tradisi Islam konservatif yang masih dipraktikkan dalam banyak pesantren di Indonesia.

Bahkan sorang petinggi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar film itu ditarik dari edaran atau diubah sebagaimana keinginannya. Penulis novel dan film Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy bahkan sampai angkat bicara dengan menyatakan tema novel yang ditulisnya menyangkut pemberdayaan wanita.

Tak hanya mengangkat karya novel, film Hanung juga banyak yang bicara sejarah. Seperti Sang Pencerah (2010); Soekarno: Indonesia Merdeka (2013); Kartini (2016), dan yang terbaru adalah Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018).

Atas sejumlah kontroversi film besutannya, Hanung seolah mendobrak pakem konvensional sutradara Indonesia. Tidak heran jika banyak karyanya mendapat perhatian dari lintas kalangan. Termasuk dari sejarawan yang menganggap banyak film sejarah yang terlalu mendramatisir alur cerita dengan alasan kreativitas.

Hanung tenang menanggapi hal itu. Ia punya alam tersendiri atas definsi film. Baginya film adalah sebuah produk seni yang memiliki ruang tafsir. “Itu lah fungsinya film. Itulah saya katakan, film adalah subyektif, tidak ada yang objektif,” tukasnya beberapa waktu lalu. (Wiek/Joy)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*