Jalan Sunyi WO Ngesti Pandawa, Pasang Surut Ngesti Pandawa dari Pemain Rol hingga Hadirnya Akademisi dalam Pentas Sebagai Suntikan Penyemangat

Ilustrasi | Foto: wikimedia.org
Mari berbagi
Bambang Iss Wirya

Mendekati awal tahun 2000 sampai sekarang Ngesti Pandawa masih memiliki sederet pemain rol wanita sebagai garda depan meski mereka harus rela belum bisa disebut sebagai primadona. Seperti Sumarwiwik, Lestari, Dewi Wulandari (pemain tamu), Albela Mayarani dan dr Marta Ardiaria (pemain tamu) untuk menyebut beberapa yang mewakili generasi muda. Itu sebabnya harus diakui Ngesti Pandawa masih mengalami krisis pemain wanita sehingga sangat sulit mengembalikan kedikdayaan kelompok ini seperti masa lalu.

Tapi di satu sisi terdapat beberapa pemain pria garda depan di era sekarang masih menjadi andalan Ngesti Pandawa, seperti Sunarno (memerankan hampir semua tokoh wayang), Wiradiyo (semua tokoh), Paminto (semua tokoh), Teguh Bagong, Totok Pamungkas (tokoh Bagong), Widayat (Gareng), Suhardi Huluk (Semar) atau Sumarbagyo (Gareng). Sederet para rol ini meneruskan nama-nama kuat yang sebelumnya ada seperti Bu Talok Kasinem, Siti “Titik” Sarmini, Bambang Sudinar yang ketiganya tidak aktif lagi.

Kehadiran para akademisi dan kalangan profesional seperti Prof Dr dr Edi Dharmana Msc, Phd,Spark Ketua Yayasan Ngesti Pandawa yang juga menjadi salah satu pemain rol dari kalangan bukan anak wayang Ngesti, dr Ria, dr Santosa dan beberapa yang lain menjadi suntikan penyemangat bagi Ngesti di masa sekarang.

Sejarah keterlibatan dokter ini sekitar 8 tahun lalu. Bermula dari Fakultas Kedokteran (FK) Undip Semarang memiliki kelompok tari yang cukup bagus. Saat itu pula para penarinya sering tampil melengkapi pemain Ngesti terutama untuk jajaran pemain wanita. Kemudian beberapa dosen dan dokter bersedia ikut pentas.

Penampilan para dokter bermain wayang kala itu khusunya untuk cerita-cerita jenaka misalnya “Bagong Jadi Dokter”, “Semar Kuning”, dan beberapa lakon lucu lainnya. Prof Edi, selaku pemrakarsa memiliki maksud mulia, yakni para mahasiswa FK tahu seluk beluk kehidupan wayang dan anak wayangnya agar mereka bisa mengapresiasi dan membela kelangsungan seni tradisi.

Meski mengalami pasang surut, pertunjukan Ngesti Pandawa mampu terus dilaksanakan untuk melestarikan budaya dan menghadirkan pertunjukkan untuk masyarakat Semarang dan wisatawan manca. Sampai sekarang Ngesti Pandawa tidak pernah absen dalam menyelenggarakan pertunjukan dengan lakon atau cerita yang berbeda-beda dalam satu minggu sekali.

Meski demikian, di saat sekarang pun masih ada sebagian masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan Ngesti Pandawa. Prof Dr dr Edi Dharmana Msc, Phd,SPark Ketua Yayasan Ngesti Pandawa yang juga menjadi salah satu pemain rol (bukan anggota Ngesti), menceritakan pengalamannya. Saat hendak menghadiri latihan, suatu sore ketika menuju ke gedung Ki Narto Sabdo di TBRS Semarang menggunakan taksi, Prof Edhi sempat heran saat ia minta diantarkan ke Ngesti Pandawa Apa kata si sopir taksi? “Lho Ngesti Pandawa itu masih ada ya, pak?

Karena lokasi Gedung Ki Narto Sabdo berada di Kompleks TBRS yang bisa digunakan oleh siapa pun untuk berbagai kepentingan, baik perhelatan atau bisnis pertunjukan (showbiz),maka harus diterima segala macam tontonan bisa diselenggarakan di sini. Bisa ditebak kawasan TBRS akan sangat sepi dan lengang jika tidak tersedia tontonan seperti wayang orang pada setiap Sabtu malam. Itu terjadi saat ketika Ngesti Pandawa tidak menggelar pentas disebabkan satu dan lain hal.

Pada 2017 terbetik kabar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang menjanjikan akan merenovasi lokasi pertunjukan pada tahun 2018 agar lebih rapi dan membuat pengunjung nyaman. Dengan biaya terjangkau bagi masyarakat dan peningkatan kenyamanan pengunjung, diharapkan kejayaan pertunjukan kesenian wayang orang dapat kembali menjadi hiburan tiga generasi dengan pesan moral yang tak lekang oleh zaman.

Baru pada pertengahan tahun 2018 pihak Ngesti Pandawa telah menerima informasi rencana renovasi gedung dan komplek TBRS secara umum. Bahkan pihaknya beberapa kali diajak rapat dengan Pemkot Semarang.

Mona Marina mewakili keluarga Ngesti Pandawa mengatakan, pemerintah sudah menyediakan anggaran untuk pemugaran secara keseluruhan. Namun belum tahu kapan pembangunan akan dilaksanakan kemungkinan pada awal 2019.

Kronologi perjalanan WO Ngesti Pandawa dalam buku catatan Djoko Muljono:

1937 – 1940   : Merangkak menuju puncak keemasan

1940 – 1845   : Penonton mulai berkurang karena perang kemerdekaan.

1945 – 1949   : Berhenti total karena negara masih belum aman

1949 – 1966   : Bangkit kembali dengan pentas keliling di Jateng.

1949 – 1950   : Main secara tobong di lapangan stadion Semarang

1950 – 1994   : Menetap di gedung GRIS di Bojong (Jalan Pemuda) Semarang dan mencapai kembali masa kejayaan.

1994 – 1996   : Pindah ke THR Tegalwareng (sekarang TBRS)

1996 – 2001   : Menempati Taman Rekreasi Istana Majapahit Semarang

2011 – sekarang : Menempati gedung Ki Narto Sabdo kompleks TBRS Semarang dengan pentas tetap sampai sekarang.

Baca juga: Jalan Sunyi WO Ngesti Pandawa, Sepak Terjang “Juragan” Wayang Orang yang Ciptakan Persaingan Antar WO

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*