Jalan Sunyi WO Ngesti Pandawa, Pertemuan yang Bersejarah

Foto: flickr.com/wongestipandowo
Mari berbagi
Bambang Iss Wirya

Perpindahan tempat kelahiran Ngesti Pandowo di Jawa Timur ke Jawa Tengah diawali dari pertemuan Sastro Sabdo dengan pemuda pemain kendang bernama Soenarto, saat Ngesti Pandowo bermain kelilingan di Klaten, tempat Soenar- to tinggal.

Saat itu Ki Sastro Sabdo terkesima oleh permainan seorang pengendang dengan teknik tinggi: memainkan enam kendang sekaligus sehingga disebut sebagai “pengendang setan”. Ki Sastro menawari Soenarto untuk bergabung dengan Ngesti Pandowo. Tanpa berpikir lama, Soenarto menyanggupi.

Sejak itu Soenarto mulai mengenal dunia pewayangan dengan Sastro Sabdo sebagai gurunya. Bahkan karena berjasa membuat banyak kreasi dan nuansa baru bagi grup kesenian waktu itu, tahun 1948 Soenarto memperoleh gelar tambahan “Sabdo” di belakang namanya. Sejak saat itu, namanya berubah menjadi Ki Narto Sabdo.

Dalam Situs Ngesti Pandowo (2017) disebutkan, “Perkembangan dunia dan lingkungan berdampak pada perjalanan perkumpulan Wayang Orang Ngesti Pandowo sehingga sejak tahun 1940 – 1945 kelompok ini pernah mengalami penurunan pendapatan, karena situasi negara yang masih dalam keadaan prihatin karena adanya perang dunia. Oleh karena itu sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 Ngesti Pandowo berhenti.

Perjalanan hidup dilakoni penuh suka dan duka. Sejak berdiri tahun 1937 sampai 1940 WO Ngesti Pandowo terus meniti menuju masa keemasan. Berkat keuletan, ketelatenan, dilandasi semangat dan kerja keras bersama seniman seniwatinya, jalan terang itu ada di depan mata.

Jalan terang itu rupanya terjadi di Semarang karena saat itu Wali Kota Hadi Soebeno Sosrowerdojo meminta Ngesti Pandowo untuk mengubah format pentas tobong agar menetap di satu lokasi di Semarang. Dengan harapan Semarang memliki ikon kota dan menjadi jujugan para pelancong dari luar Semarang.

Pada tahun 1950 dipilih sebuah tempat di kawasan Bojong (sekarang Jalan Pemuda), dibangunlah oleh pemerintah sebuah gedung semipermanen berbahan kayu, terletak di belakang GRIS (Gedung Rakyat Indonesia Semarang). Beberapa saat di situ, pada tahun 1954 dibangunlah tempat permanen GRIS untuk ditempati.

Baca juga: Jalan Sunyi WO Ngesti Pandawa, Mengenal Konsep Tobong dalam Kesenian Tradisi Sejak Dasawarsa 30-an

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*