Jalan Sunyi WO Ngesti Pandawa, Layar Mulai Terkembang

Mari berbagi
Bambang Iss Wirya

Menilik sejarahnya, wayang purwa dan wayang orang tampaknya muncul secara bersamaan. Bahwa wayang orang berkembang sejak tahun 30-an itu akibat seniman tradisi yang jauh sebelumnya telah ada.

Dalam situs Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo (2017), disebutkan bahwa pada dasawarsa 30-an tercatat ada beberapa kelompok wayang orang dan ketoprak yang berdiri di Jawa Tengah. Di antaranya WO dan Ketoprak Darmo Mudo pimpinan Thiek Bong dari Kediri, Darmo Carito pimpinan Sam Thong (Surabaya), Saru Tomo pimpinan Khie Os (Rembang), dan Wargu Wandowo pimpinan Thei Sin di Semarang.

Wayang wong, ketoprak atau ludruk dipertunjukkan dalam rumah pertunjukan dari rumah kayu di pinggir selatan kota, milik orang Cina atau di pasar malam keliling. Para pemilik, orang Cina, itulah yang disebut sebagai ju- ragan yang oleh sebagian pihak dianggap menyuburkan iklim eksploitasi tenaga pribumi.

Itu pula rupanya yang mendasari seniman pribumi seperti Sastro Sabdo menggugat keadaan. Di Maospati, Madiun, Jawa Timur ia pun bertekad mendirikan kelompok wayang orang Ngesti Pandowo pada Kamis Pahing 1 Juli 1937. Perkumpulan ini diberdayakan oleh pribumi, dari pemilik sampai pemain.

Sejak berdiri, Ngesti Pandowo sudah pentas secara berkeli- ling, dari satu kota ke kota lain, dalam konsep tobong sampai kemudian menetap di Semarang. Di Semarang pada dasawarsa 70 sampai 80-an Ngesti Pandowo tetap saja berpindah-pindah tempat. Dari GRIS di Bojong (sekarang Jalan Pemuda), Istana Majapahit, dan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).

Di Semarang saat itu juga telah berdiri kelompok yang lain, yakni Sriwanito di kawasan Pasar Dargo (sekarang Jalan Dr. Cipto) dan Wahyu Budoyo di THR Tegalwareng. Dua kelompok itu hanya bertahan sampai awal 80-an. Sedangkan Ngesti Pandowo bertahan sampai sekarang dengan segala dinamikanya.

Pimpinan WO Ngesti Pandowo Djoko Muljono SH (menjabat 2015 sampai sekarang) mengatakan, saat itu di antara beberapa kelompok WO telah terjadi rivalitas yang sengit. Tidak jarang saling serobot awak panggung pun terjadi

Djoko Muljono mengatakan, waktu itu pihaknya pasrah saja atas fakta saling serobot pemain. Pemimpin Ngesti waktu itu, Sastro Soedirdjo, hanya bilang, “Ya wis ben pemainku dha main nyang Wahyu Budoyo,” (Ya biarlah para pemainku main di Wahyu Budoyo).

Meski terjadi persaingan  yang sengit, di kemudian hari malah muncul fakta unik. Pemimpin Wahyu Budoyo, yaitu Sriani Harsono, justru cawe-cawe (ikut memikirkan) manajemen Ngesti Pandowo sehingga dia memimpin dari tahun 1996 sampai 2004

Baca juga: Makna Ajaran Budi Pekerti Pada Kesenian Tradisional

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*